Ketahanan pangan dan kendala perwujudannya untuk menjadikan Indonesia berdaulat pangan menjadi bahasan utama dalam buku yang diterbitkan UnikaPress ini.
Buku ini memuat 33 topik tentang isu ketahanan pangan yang pernah dikemukakan penulis dan selama ini berserak di sejumlah media massa, kini terkumpul menjadi satu kesatuan yang utuh dalam satu buku.
Setiap bab merupakan kumpulan dari gagasan dan pemikiran tertulis yang pernah disampaikan pada pertemuan ilmiah dan dimuat di berbagai media massa yang terbit di Jakarta, seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Pembaruan. Kontan, Satu Harapan dan Sinar Harapan. Kumpulan pikiran dan gagasan tertulis ini mempunyai makna dan komitmen untuk perwujudan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat.
Ia merupakan sebuah persoalan yang belum terwujud di Indonesia sehingga menjadi sebuah tantangan menarik yang mesti didekati secara komprehensif.
Di mulai dari penyediaan sarana dan prasarana pertanian hingga keberpihakan pemerintah kepada pahlawan ketahanan pangan. Yaitu produsen pangan, kaum tani yang jumlahnya kurang lebih 60 – 70 persen dari total penduduk Indonesia.
Buku ini hendak mengkritisi kecenderungan politisasi pangan seraya memberikan beberapa pandangan alternatif yang realistis terhadap bagaimana seharusnya perwujudan dan pengelolaan ketahanan pangan di masa datang untuk Indonesia berdaulat pangan.
Mengelola ketahanan pangan erat kaitannya dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani.
Sayangnya, sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan (padi), sudah sedemikian lama hanya diposisikan untuk penjaga gawang sektor-sektor ekonomi lainya seperti industri dan jasa.
Perhatian pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan petani kian berkurang. Untuk menyebut sebuah contoh, kebijakan pemerintah tentang harga gabah dan beras belum menyentuh penguatan kesejahteraan petani.
Sebaliknya, harga gabah sengaja ditekan untuk membuka kran impor baras. Di sini, beras menjadi komoditas politik yang selalu membuka ruang untuk pemain impor.
Kebijakan pemerintah mengimpor beras ibarat buah simalakama. Jika impor beras diterapkan, kalangan yang kontra kebijakan menuding pemerintah tidak pro petani karena petani dirugikan dan program diversifikasi konsumsi pangan menjadi mandul.
Konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal stagnan namun di sisi lain konsumsi terigu kian meningkat dan memuai.
Namun, jika impor beras tidak dilakukan, konsumen akan menjerit karena harga beras melambung tinggi dan angka kemiskinan jadi memuai.
Menurut Bank Dunia (2016), hampir separuh penduduk Indonesia saat ini dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Mereka yang kekurangan gizi meningkat drastis di tengah pandemi Covid-19 ini.
Dengan pendekatan analisis kritis, penulis – yang pernah dipercayai KPU Pusat sebagai anggota Tim Perumus Pertanyaan Debat Calon Presiden RI (2014) – di bidang Pangan, membuka sebagian persoalan ketahanan pangan di negeri agraris ini seraya memberikan problem solving.
Buku ini layak dibaca oleh dosen, peneliti, mahasiswa, masyarakat luas peminat kedaulatan pangan dan para pengambil kebijakan di bidang ketahanan pangan.
***