Penulis : Doan Dohardo Harianja
Apakah sebuah partai politik bisa dikudeta/diambil-alih presiden berkuasa ? Pertanyaan inilah yang muncul atas keluhan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam temu pers kemarin, Senin (1/2) di Jakarta.
Saya harus katakan bisa! Tetapi itu dulu. Sebelum reformasi. Ketika kekuasaan presiden tidak berbatas alias otoriter.
Masa Orde Baru, kepemimpinan Presiden HM Soeharto. Salah satu contohnya ketika itu, Kongres tahun 1993, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) memilih Megawati Soekarno Putri menjadi Ketua Umum. Tetapi itu tidak dikehendaki pemerintah berkuasa. Maka dilakukanlah berbagai cara agar Megawati jatuh.
Akhirnya oleh sejumlah kader banteng sendiri, melakukan Kongres pada tahun 1996 di Asrama Haji Medan.
Pemerintah membiarkannya. Bahkan, kala itu, oleh para kader PDI pro Mega menyebut “didukung” pemerintah. Terpilihlah Soerjadi dan Buttu R Hutapea sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.
Sejak saat itulah terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh PDI. Akibat dualisme, terjadi perebutan sekretariat/kantor di Jl Diponegoro Jakarta yang dikenal dengan peristiwa Kudatuli 1996 (kudeta duapuluh tujuh juli). Akhirnya kantor dikuasai oleh PDI-Soerjadi, walau harus memakan korban jiwa.
Apakah setelah reformasi masih mungkin bisa dilakukan hal serupa ? Saya katakan sangat kecil kemungkinannya.
Kalau pun bisa, itu sangat sulit. Tergantung kepada pengurus partai itu sendiri. Undang-undang tentang Partai Politik di republik ini telah mengikat keberadaan seluruh partai, berdasarkan AD/ART organisasinya. Undang-undang tentang Parpol ini terus diperbaharui dan semakin demokratis.
Jangankan mencaplok organisasi, mengkudeta anggota partai dari DPR saja sulit. Masih ingat kasus Fahri Hamzah ? Ia sudah dipecat partainya dari PKS, tetapi sampai akhir masa jabatannya tidak bisa diresufle.
Jangankan diresufle, diganti dari pimpinan (wakil ketua) DPR RI saja tidak bisa. Pada hal selalu didengungkan, untuk menjadi pimpinan/alat kelengkapan dewan hak otonomi partai. Makanya ada istilah petugas partai. Buktinya ?
Karena itulah saya menyebut ; geli “menengok” (melihat/memperhatikan) AHY. Kalau Bahasa kaum milenial; LEBAY. Kalau boleh saya menilai, memperlihatkan eksistensi diri yang belum matang berorganisasi.
Permasalahan Partai Demokrat, kalau pun ada, itu adalah urusan internal. Bila ada anggota/pengurus tidak taat organisasi, berikan sanksi. Acuannya; AD/ART serta peraturan organisasi yang disahkan dalam pleno partai.
Jika ada dari kelompok atau fungsionaris partai yang mau ambil alih kepemimpinan, pasti (100 persen) mengikuti aturan organisasi. Misalnya, bagaimana menjalankan prosedur mosi tidak percaya, Kongres Luar Biasa atau permintaan resufle organisasi. Dipastikan itu semua diatur dalam AD/ART dan peraturan organissasi. Apalagi PD pernah menjadi partai berkuasa.
Perihal ada yang minta saran/dukungan dari lingkungan Menteri (misalnya, bila benar ada), itu adalah dinamika organisasi biasa. Itu juga dialami hampir setiap partai. Mulai PDIP, Golkar, PPP, Hanura, PKS dan lain-lain. Tetapi sampai saat mereka tetap eksis dan tidak menjadi lebay.
Makanya tidak perlu kalilah baper. Biasa sajalah. Negara ini, suka tidak suka, butuh partai oposisi. Partai yang mengkritisi kebijakan pemerintah agar tetap dalam koridor menuju masyarakat adil dan Makmur. Betulkan Gus ?
Editor : Poltak Simanjuntak