Jakarta | Konstruktif.ID – Unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja berlangsung Kamis (08/10), di beberapa kota. Ribuan pedemo ditangkap kepolisian dengan tuduhan berbuat rusuh.
Seluruh penangkapan dan penanganan unjuk rasa oleh kepolisian itu dituding antidemokrasi dan melanggar berbagai ketentuan perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak menyatakan pendapat.
Hingga berita ini disusun pada Kamis malam, Polda Metro Jaya sudah menangkap lebih dari seribu orang yang mereka tuduh sebagai perusuh dan anggota “kelompok anarko”.
Kepada Tempo, Juru Bicara Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus, berkata pihaknya melakukan penangkapan di berbagai wilayah di Jakarta dan wilayah sekitarnya.
Orang-orang itu, kata Yusri, mereka membawa ke kantor Polda Metro Jaya di kawasan Semanggi, Jakarta Pusat.
Sementara itu, kepolisian di kota Medan menyatakan telah menangkap 177 pedemo.
Kepala Polrestabes Medan, Kombes Riko Sunarko, berkata ratusan orang itu terlibat bentrokan dengan personelnya di depan gedung DPRD Sumatra Utara.
Dalam pantuan wartawan di Medan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Dedi Hermawan, sebagian orang yang ditangkap itu diminta membuka baju saat dibawa ke kantor kepolisian.
Bukan cuma mendalami soal dugaan pidana, polisi menyebut melakukan rapid test kepada pedemo yang mereka tangkap. Tiga pengunjuk rasa, klaim Kombes Riko Sunarko, reaktif Covid-19.
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, mengatakan kepolisian melakukan tindakan represif dan menangkap pedemo di 18 provinsi berbeda.
Asfinawati menyebut kepolisian di berbagai kota membubarkan unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja tanpa alasan hukum yang sahih.
“Kalaupun sudah ditangkap, buat apa mereka dipukuli? Itu namanya brutalitas. Bahkan ada yang ditelanjangi,” kata Asfinawati dalam jumpa pers virtual.
Penangkapan pedemo sebenarnya sudah terjadi sejak 6 Oktober lalu, kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. Dia berkata, penangkapan dilakukan di ruang publik dan transportasi umum.
“Polanya sama, yang ditangkap adalah massa aksi yang berbaju hitam, memakai almamater, dan pelajar,” ujarnya.
Fatia menyebut kepolisian mulai menyisir jalanan di Jakarta dan beberapa kota untuk menangkap pedemo. Di Jakarta, Fatia menyebut pedemo berlarian ke jalan-jalan kecil untuk menghindari kepolisian.
Leonard Simanjuntak, aktivis lingkungan dari Greenpeace, menuding aksi kepolisian yang membubarkan unjuk rasa dan menangkapi pedemo tak sesuai dengan prinsip demokrasi.
Gagalnya masyarakat menyampaikan aspirasi lewat unjuk rasa, kata Leonard, merupakan kelanjutan sikap pemerintah meminggirkan pendapat organisasi keagamaan, akademisi, dan masyarakat sipil yang menentang UU Cipta Kerja.
“Tindakan represif aparat ini mencerminkan watak antidemorkasi yang kental dari rezim ini dan membuktikan proses sepanjang awal tahun yang sangat minim partisipasi masyarakat,” kata Leonard.
Bentrokan antara polisi dan mahasiswa di Makassar hingga Kamis maalm melibatkan warga yang tinggal di sekitar lokasi kericuhan.
Siapa yang rusak fasilitas umum?
Anwar Sastro, Presiden Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia, meminta publik tidak menuduh tanpa bukti bahwa pedemo anti-UU Cipta Kerja merusak fasilitas umum, termasuk halte Trans Jakarta di kawasan Bundaran Hotel Indonesia.
Kepolisian, kata Sastro, harus menyelidiki secara independen apakah pelaku perusakan itu adalah pengunjuk rasa atau pihak ainnya.
“Fakta kebenaran soal siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan fasilitas publik harus diselesaikan melalui investigasi yang independen dan akurat,” ujarnya.
“Mari semua pihak berpihak kepada fakta objektif yang teliti. Tidak dengan cara mengkambing hitamkan kelompok tertentu,” kata Sastro.
Sementara, seperti dilaporkan wartawan BBC News Indonesia, Silvano Hajid, dari lokasi demo di sekitar Stasiun Gambir, aparat kepolisian masih berusaha membubarkan massa pendemo.
Sampai sekitar pukul 18.00 WIB, aparat kepolisian berusaha “memukul mundur” pendemo.
“Sebagian massa bertahan di dekat Tugu Tani dan lainnya mundur ke arah Kedubes AS dan Kantor Gubernur,” lapor Silvano.
“Ada bunyi tembakan gas air mata,” tambahnya. Dia melaporkan massa “melempar batu” dan “petasan” dan dibalas dengan tembakan gas air mata oleh polisi.
Sementara itu ratusan orang pengunjukrasa yang masih bertahan di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI), mulai membakar pembatas jalan atau marka, menjelang pukul 18.00 WIB, Kamis (08/10).
Massa juga membakar halte bus Trans Jakarta di depan Hotel Pullman, yang letaknya tidak jauh dari Bundaran HI.
Sejumlah laporan menyebutkan massa juga membakar halte bus di depan Toserba Sarinah di Jalan Thamrin.
Sebelumnya, massa membakar pos polisi di dekat Patung Kuda, Jakarta, serta mencabut pagar pembatas proyek MRT di kawasan itu. (***)